Matahari
mulai terasa menghangatkan tubuh. Dengan sedikit mengerjap, membiasakan mataku
dengan sinarnya, aku memaksakan diri untuk bangun. Masih terasa berat mata dan
kepalaku, sisa dari mabuk semalam. Tapi aku harus menyingkir dari sini, mencari
tempat yang sedikit teduh, untuk meneruskan mimpiku. Dan sepertinya ketiga
temanku juga merasakan hal yang sama denganku. Seolah kita memiliki indera
keenam yang bisa membaca pikiran masing-masing. Bersama kita menuju sebuah
warkop, tempat kita biasa menghabiskan waktu bersama.
Sayangnya,
bunyi perutku mengalahkan rasa kantuk. Yah...perutku
sudah meminta jatah. “Uang sisa ngamen semalem masih ada gak?” tanyaku kepada
ketiga temanku.
“Uda
abis, buat beli minuman semalem. Nih, masih ada sisa rokok semalem, lumayan
bisa buat nahan laper. Entar siang baru kita ngamne lagi,” jawab temenku.
Yah,
beginilah kami. Hidup di jalanan, tidur, makan, dan menghabiskan waktu kami di
jalan. Bangun tidut kami langsung ngamne. Mengamen adalah cara untuk mencari uang.
Tak jarang kami “malak” anak-anak sekolah yang sedang nongkrong di “kerajaan”
kami. Uang tersebut kmai gunakan untuk memenuhi kebutuhan kami, makan, rokok,
sering pula untuk membeli miras atau pun “jajan”.
Orang
awam menyebut kami anak jalanan. Banyak pula yang memanggil kami berandalan. Dalam
komunitas punk sendiri, kita disebut street punk. Tapi apapun sebutannya untuk
kami, kami tak peduli. Bodoh amat dengan segala julukan yang mereka berikan,
tak peduli denga segala cibiran dan ejekan mereka. Kami pun tak peduli dengan
norma, peraturan, politik, pemerintah, dan semacamnya. Persetan dengan itu
semua.
Bagi
kami, punk adalah hidup kami, dunia kami, dan identitas kami. Kami benar-benar
tidak peduli dengan dunia dan orang-orangnya. Selagi mereka tidak mencari
masalah dengan kami, kami tak peduli dengan orang-orang itu. Kami hanya peduli
dengan perut kami dan teman-teman kami. Bagi kami, teman adalah harta berharga
kami, merekalah keluarga kami.
Aku
pun merasakan hal yang sama. Sejak kedua orang tuaku becerai, aku tak lagi
merasakan hangatnya keluarga. Aku kesepian dan bosan. Apalgi dengan segala
aturan yang diterapkan oleh ayahku, aturan sekolah, aturan masyarakat, dan
segala tetek bengek semacamnya. Aku merasa dipenjara, hidup tak bebas, dan
terkekang. Aku tak lagi bisa mengekspresikan diriku tapi aku juga tak
mendapatkan hak-hakku. Mereka semua hanya bisa menuntutku untuk melakukan
kewajiban dan mematuhi semua aturan. Tapi tak ada penghargaan dari apa yang aku
lakukan.
Semua
kekecewaan dan kebosanan itulah yang mengantarkan aku ke sini, ke komunitas
punk. Karena disinilah, aku menemukan apa yang selama ini aku cari dan aku
mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku memiliki teman-temna yang peduli kepadaku,
menganggap aku keluarga mereka sendiri. Ibaratnya satu untuk smeua, semua untuk
satu. Bersama mereka pula, aku bebas mengekspresikan diriku, terlepas dari
segala kewajibanku, dan keluar dari segala peraturan yang selama ini
mengikatku.
Tapi
jangan berharap awal aku di sini, aku bisa diterima dengan mudah. Ada “ritual”
yang harus aku lakukan untuk bisa diterima komunitas ini. Yang pertama,
tentunya aku harus sama dengan mereka. Penampilanku, cara bergaulku harus sama
dengan mereka. Setelah itu aku harus menghadapi ujian hidup di jalan. Tidur di
jalanan, makan makanan basi atau pun sampah, dan merelakan hartaku dipakai
bersama. Terakhir aku harus mengikuti ujian kesetiakawanan. Setelah aku lulus
semua peraturan mereka, maka aku biasa diterima menjadi komunitas mereka. Seandainya
aku gagal, entah apa yang akan terjadi padaku.
Oh
ya, kami juga anti dengan punk-punk lain. Meski menurut orang lain kita sama,
tapi bagi kami antar punk pun juga berbeda. Kami hanya peduli dengan kelompok
kami, anggota kami. Kami tak peduli dengan anggota kelompok punk lain. Jika mereka
bermacam-macam dengan daerah kekuasaan kami, mereka pun akan kami perangi. Hanya
pada acara tertentu saja, kami para punk, dapat bedamai. Misalnya saja ketika
menonton konser.
Meski
begitu, aku senang bergabung dengan mereka dan menghabiskan waktu bersama
mereka. Bagiku, bersama mereka jauh lebih nyaman dibandingkan dengan
orang-orang yang mengaku keluargaku. Bersama mereka aku merasa waras
dibandingkan dengan orang-orang yang mengaku mereka “waras dan normal”. Dan bersama
anak-anak punk inilah, aku menemukan siapa aku sebenarnya.
No comments:
Post a Comment