Thursday, November 8, 2012

DENGAN PUNK, AKU MENEMUKAN DIRIKU

 Matahari mulai terasa menghangatkan tubuh. Dengan sedikit mengerjap, membiasakan mataku dengan sinarnya, aku memaksakan diri untuk bangun. Masih terasa berat mata dan kepalaku, sisa dari mabuk semalam. Tapi aku harus menyingkir dari sini, mencari tempat yang sedikit teduh, untuk meneruskan mimpiku. Dan sepertinya ketiga temanku juga merasakan hal yang sama denganku. Seolah kita memiliki indera keenam yang bisa membaca pikiran masing-masing. Bersama kita menuju sebuah warkop, tempat kita biasa menghabiskan waktu bersama.
Sayangnya, bunyi perutku mengalahkan rasa kantuk.  Yah...perutku sudah meminta jatah. “Uang sisa ngamen semalem masih ada gak?” tanyaku kepada ketiga temanku.
“Uda abis, buat beli minuman semalem. Nih, masih ada sisa rokok semalem, lumayan bisa buat nahan laper. Entar siang baru kita ngamne lagi,” jawab temenku.
Yah, beginilah kami. Hidup di jalanan, tidur, makan, dan menghabiskan waktu kami di jalan. Bangun tidut kami langsung ngamne. Mengamen adalah cara untuk mencari uang. Tak jarang kami “malak” anak-anak sekolah yang sedang nongkrong di “kerajaan” kami. Uang tersebut kmai gunakan untuk memenuhi kebutuhan kami, makan, rokok, sering pula untuk membeli miras atau pun “jajan”.
Orang awam menyebut kami anak jalanan. Banyak pula yang memanggil kami berandalan. Dalam komunitas punk sendiri, kita disebut street punk. Tapi apapun sebutannya untuk kami, kami tak peduli. Bodoh amat dengan segala julukan yang mereka berikan, tak peduli denga segala cibiran dan ejekan mereka. Kami pun tak peduli dengan norma, peraturan, politik, pemerintah, dan semacamnya. Persetan dengan itu semua.
Bagi kami, punk adalah hidup kami, dunia kami, dan identitas kami. Kami benar-benar tidak peduli dengan dunia dan orang-orangnya. Selagi mereka tidak mencari masalah dengan kami, kami tak peduli dengan orang-orang itu. Kami hanya peduli dengan perut kami dan teman-teman kami. Bagi kami, teman adalah harta berharga kami, merekalah keluarga kami.
Aku pun merasakan hal yang sama. Sejak kedua orang tuaku becerai, aku tak lagi merasakan hangatnya keluarga. Aku kesepian dan bosan. Apalgi dengan segala aturan yang diterapkan oleh ayahku, aturan sekolah, aturan masyarakat, dan segala tetek bengek semacamnya. Aku merasa dipenjara, hidup tak bebas, dan terkekang. Aku tak lagi bisa mengekspresikan diriku tapi aku juga tak mendapatkan hak-hakku. Mereka semua hanya bisa menuntutku untuk melakukan kewajiban dan mematuhi semua aturan. Tapi tak ada penghargaan dari apa yang aku lakukan.
Semua kekecewaan dan kebosanan itulah yang mengantarkan aku ke sini, ke komunitas punk. Karena disinilah, aku menemukan apa yang selama ini aku cari dan aku mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku memiliki teman-temna yang peduli kepadaku, menganggap aku keluarga mereka sendiri. Ibaratnya satu untuk smeua, semua untuk satu. Bersama mereka pula, aku bebas mengekspresikan diriku, terlepas dari segala kewajibanku, dan keluar dari segala peraturan yang selama ini mengikatku.
Tapi jangan berharap awal aku di sini, aku bisa diterima dengan mudah. Ada “ritual” yang harus aku lakukan untuk bisa diterima komunitas ini. Yang pertama, tentunya aku harus sama dengan mereka. Penampilanku, cara bergaulku harus sama dengan mereka. Setelah itu aku harus menghadapi ujian hidup di jalan. Tidur di jalanan, makan makanan basi atau pun sampah, dan merelakan hartaku dipakai bersama. Terakhir aku harus mengikuti ujian kesetiakawanan. Setelah aku lulus semua peraturan mereka, maka aku biasa diterima menjadi komunitas mereka. Seandainya aku gagal, entah apa yang akan terjadi padaku.
Oh ya, kami juga anti dengan punk-punk lain. Meski menurut orang lain kita sama, tapi bagi kami antar punk pun juga berbeda. Kami hanya peduli dengan kelompok kami, anggota kami. Kami tak peduli dengan anggota kelompok punk lain. Jika mereka bermacam-macam dengan daerah kekuasaan kami, mereka pun akan kami perangi. Hanya pada acara tertentu saja, kami para punk, dapat bedamai. Misalnya saja ketika menonton konser.
Meski begitu, aku senang bergabung dengan mereka dan menghabiskan waktu bersama mereka. Bagiku, bersama mereka jauh lebih nyaman dibandingkan dengan orang-orang yang mengaku keluargaku. Bersama mereka aku merasa waras dibandingkan dengan orang-orang yang mengaku mereka “waras dan normal”. Dan bersama anak-anak punk inilah, aku menemukan siapa aku sebenarnya. 

No comments:

Post a Comment