Doni :
“Ngerjain unas ternyata gak sesulit yang aku bayangin. Kalau gini aku yakin
bias dapat nilai 8, bahkan 9.”
Dino : “Ah,
yakin betul kamu.”
Doni : “iya
dong, kan yang ngerjain guruku. Aku cuma tinggal mindah jawabannya ke lembar
jawaban. Jadi aku yakin jawaban yang aku tulis 99% benar”
Dino : “Wah
asik banget kamu dikasi bocoran ma sekolahanmu.”
Doni : “Loh
emangnya kamu enggak?”
Dino :
“Sekolahku gak mau ambil resiko. Jadi mereka minta kita buat ngerjain sendiri.
Tapi untungnya aku ikut bimbingan di LBB, jadi tutorku yang kirim jawaban.
Malah untuk ujian kimia yang hari terakhir, aku uda punya jawabannya.”
Doni : “Wah
asik banget, bagi dong. Entar kita cocokin jawaban dari tutormu ma jawaban dari
guruku.”

Yah….unas tanpa kecurangan bagia masakan tanpa garam, hambar rasanya.
Kecurangan ini terjadi hampir setiap tahun. Seakan-akan pelaksanaan unas yang
jujur dan bersih, mustahil untuk dilakukan. Bahkan pihak universitas meragukan
keaslian nilau unas. Mereka juga menolak jika nilai unas dijadikan syarat masuk
perguruan tinggi negeri. Padahal masih ada “oknum” yang melaksanakan unas
dengan jujur. Tapi anehnya, mereka yang melaksanakan unas dengan jujur justru
dianggap ganjil oleh masyarakat. Mereka pun masih tetap meragukan kebenaran
nilai yang didapat.
Ketika terjadi kecurangan dan tercium oleh public, maka piahk yang pertama
kali disalahkan adalah pihak sekolah. Memang tidak dipungkiri jika ada
sekolah-sekolah yang melakukan kecuranag dengan memberikan jawaban pada siswa
mereka saat unas berlangsung. Bahkan hal tersebut diinstruksikan langsung oleh
kepala sekolah. Bentuknya pun bremacam-macam, muali dari cara yang sopan hingga
nakal. Kadangkala pihak sekolah “merayu” pengawas dengan memberi fasilitas
mewah. Mereka berharap siswa-siswanya diberi kelonggaran, sehingga dapat
melakukan contekan. Ada pula yamg sengaja menyuruh salah satu siswanya ke kamar
mandi dan kemudian memberikan jawaban. Yang lebih aneh lagi, ada pula sekolah
yang sengaja memberi lubang pada salah satu sisi dinding kelas, yang kemudian
digunakan untuk melempar lipatan kertas jawaban.
Meski begitu, tidak seharusnya hanya pihak sekolah yang
dipermasalahkan. Karena masih ada pihak yang mendukung pelaksanaan unas yang
penuh denga kecurangan. Salah satunya adalah para orang tua dan lembaga
bimbingan belajar (LBB). Bagi orang tua yang memiliki uang lebih, mereka
menitipkan anak mereka kepada salah seorang pejabat dinas pendidikan untuk
memberikan kunci jawaban. Sedangkan pihak LBB sebelum ujian dimulai, mereka
mengumpulkan para tutor dan mngerjakan soal ujian. Begitu ujian dimulai, kunci
jawaban dikirimkan kepada anak didik mereka melalui sma. Tak jarang jawaban
ujian sudah diterima sebelum ujian mata pelajaran tersebut diujikan. Entah
bagaimana caranya pihak LBB bisa mendapatkan akses untuk mendapatkan soal
ujian.
Sejatinya, kecurangan saat ujian nasional dilakukan demi pencitraan
yang baik. Bagi pihak sekolah, jumlah siswanya yang lulus akan mempengaruhi
jumlah siswa baru yang akan masuk ke sekolah mereka. Utamanya terjadi pada
sekolah swasta. Selain itu, juga untuk menjaga nama baik sekolah. Begitu juga
bagi orang tua dan lembaga bimbingan belajar.
Bagi para orang tua, kelulusan anaknya dengan nilai tinggi untuk
“meningkatkan gengsi” mereka di mata orang lain. Selain itu juga untuk memenuhi
ambisi mereka agar anak mereka bisa masuk ke sekolah yang faforit. Apalagi jika
mereka lebih “pintar” dibandingkan dengan anak mereka. Mereka tidak ingin
dibuat malu oleh kemampuan otak anaknya
yang biasa saja.
Bagi pihak LBB, keberhasilan mereka mengantarkan anak didik mereka
lulus 100%, menunjukkan keprofesionalan lembaga mereka. Bahkan ada pihak LBB
yang memberikan jaminan uang selama bimbingan akan kembali 100% jika anak didik
mereka tidakl lulus. Jika hal itu dilakukan, tentunya mereka akan merugi.
Misalnya ada 25 dari anak didik merek yang tidak lulus, berapa rupiah yang
harus dikeluarkan untuk mengganti rugi. Mengingat, biaya selama mengikuti
bimbingan tidaklah murah. Oleh karena itu, mereka pun memberikan jawaban kepada
anak didik mereka yang sedang berperang.
Kesimpulannya, semua pihak yang
melakuakn kecurangan saat ujian nasionala merupakan orangt-orang yang lebih
mengutamakan hasil dari pada proses. Mereka merasa malu dan marah jika
anak-anak mereka tidak lulus ujian. Mereka lupa bahwa setiap anak memiliki
potensi yang berbeda. Selain itu, anak akan merasa tertekan dan menggannggu
perkembangan mereka. Oleh karenanya, biarkanlah anak-anak mengerjakan ujian
denagn kemempuan mereka sendiri. Percayalah kepada kemampuan mereka. Janganlah
memikirkan hasil yang akan dicapai. Utamakanlah melakukan proses yang baik.
Jika proses yang dilakukan baik, maka hasilnya pun akan baik.
Kita juga harus sadar, bahwa dengan membantu anak-anak mengerjakan
ujian akan mendidik mereka menjadi orang yang suka meremehkan. Selain itu
sia-sia pula proses yang selama ini dilakukan sebelum ujian berlangsung. Proses
pembelajaran yang terjadi dalam kurun waktu tiga tahun terasa tidak berguna.
Percuma pula usaha pemerintah yang berupaya keras untuk mencegah terjadinya
kecurangan saat unas., jika pihak yang bertugas mendidik dan mengawasi justru
mendukung kecurangan terjadi. Bagaimana pula kita mengharapkan hadirnya
pemimpin yng jujur dan adil, jika para penerus bangsa justru di didik untuk
berbuat curang dan berlaku tidak jujur. Oleh karenanya, marilah kita
bersama-sama, saling bahu membahu, mencegah dan memberantas terjadinya
kecurangan saat unas demi terwujudnya para penerus bangsa yang jujur dan
adil.
No comments:
Post a Comment