Wednesday, February 1, 2012

UNAS CURANG, SALAH SIAPA?



Doni : “Ngerjain unas ternyata gak sesulit yang aku bayangin. Kalau gini aku yakin bias dapat nilai 8, bahkan 9.”
Dino : “Ah, yakin betul kamu.”
Doni : “iya dong, kan yang ngerjain guruku. Aku cuma tinggal mindah jawabannya ke lembar jawaban. Jadi aku yakin jawaban yang aku tulis 99%  benar”
Dino : “Wah asik banget kamu dikasi bocoran ma sekolahanmu.”
Doni : “Loh emangnya kamu enggak?”
Dino : “Sekolahku gak mau ambil resiko. Jadi mereka minta kita buat ngerjain sendiri. Tapi untungnya aku ikut bimbingan di LBB, jadi tutorku yang kirim jawaban. Malah untuk ujian kimia yang hari terakhir, aku uda punya jawabannya.”
Doni : “Wah asik banget, bagi dong. Entar kita cocokin jawaban dari tutormu ma jawaban dari guruku.”
Dino : “Boleh juga. Tak ada jawaban dari sekolah, dari LBB pun boleh juga.”

Memasuki bulan ketiga, perbincangan mengenai ujian nasional begitu ramai di masyarakat. Mulai dari bapak mentri, pihak universitas, guru, siswa, hingga abang tukang becak yang kebetulan anaknya turut melaksanakan unas, ikut menyumbangkan suara. Tapi yang paling ramai dibicarakan ialah mengenai kecurangan yang terjadi saat unas. Topik ini sangat mendominasi perbincangan dan selalu menjadi topic utama disetisp tahun pelaksanaan.
Yah….unas tanpa kecurangan bagia masakan tanpa garam, hambar rasanya. Kecurangan ini terjadi hampir setiap tahun. Seakan-akan pelaksanaan unas yang jujur dan bersih, mustahil untuk dilakukan. Bahkan pihak universitas meragukan keaslian nilau unas. Mereka juga menolak jika nilai unas dijadikan syarat masuk perguruan tinggi negeri. Padahal masih ada “oknum” yang melaksanakan unas dengan jujur. Tapi anehnya, mereka yang melaksanakan unas dengan jujur justru dianggap ganjil oleh masyarakat. Mereka pun masih tetap meragukan kebenaran nilai yang didapat.
Ketika terjadi kecurangan dan tercium oleh public, maka piahk yang pertama kali disalahkan adalah pihak sekolah. Memang tidak dipungkiri jika ada sekolah-sekolah yang melakukan kecuranag dengan memberikan jawaban pada siswa mereka saat unas berlangsung. Bahkan hal tersebut diinstruksikan langsung oleh kepala sekolah. Bentuknya pun bremacam-macam, muali dari cara yang sopan hingga nakal. Kadangkala pihak sekolah “merayu” pengawas dengan memberi fasilitas mewah. Mereka berharap siswa-siswanya diberi kelonggaran, sehingga dapat melakukan contekan. Ada pula yamg sengaja menyuruh salah satu siswanya ke kamar mandi dan kemudian memberikan jawaban. Yang lebih aneh lagi, ada pula sekolah yang sengaja memberi lubang pada salah satu sisi dinding kelas, yang kemudian digunakan untuk melempar lipatan kertas jawaban.
Meski begitu, tidak seharusnya hanya pihak sekolah yang dipermasalahkan. Karena masih ada pihak yang mendukung pelaksanaan unas yang penuh denga kecurangan. Salah satunya adalah para orang tua dan lembaga bimbingan belajar (LBB). Bagi orang tua yang memiliki uang lebih, mereka menitipkan anak mereka kepada salah seorang pejabat dinas pendidikan untuk memberikan kunci jawaban. Sedangkan pihak LBB sebelum ujian dimulai, mereka mengumpulkan para tutor dan mngerjakan soal ujian. Begitu ujian dimulai, kunci jawaban dikirimkan kepada anak didik mereka melalui sma. Tak jarang jawaban ujian sudah diterima sebelum ujian mata pelajaran tersebut diujikan. Entah bagaimana caranya pihak LBB bisa mendapatkan akses untuk mendapatkan soal ujian.
Sejatinya, kecurangan saat ujian nasional dilakukan demi pencitraan yang baik. Bagi pihak sekolah, jumlah siswanya yang lulus akan mempengaruhi jumlah siswa baru yang akan masuk ke sekolah mereka. Utamanya terjadi pada sekolah swasta. Selain itu, juga untuk menjaga nama baik sekolah. Begitu juga bagi orang tua dan lembaga bimbingan belajar.
Bagi para orang tua, kelulusan anaknya dengan nilai tinggi untuk “meningkatkan gengsi” mereka di mata orang lain. Selain itu juga untuk memenuhi ambisi mereka agar anak mereka bisa masuk ke sekolah yang faforit. Apalagi jika mereka lebih “pintar” dibandingkan dengan anak mereka. Mereka tidak ingin dibuat malu oleh kemampuan otak  anaknya yang biasa saja.
Bagi pihak LBB, keberhasilan mereka mengantarkan anak didik mereka lulus 100%, menunjukkan keprofesionalan lembaga mereka. Bahkan ada pihak LBB yang memberikan jaminan uang selama bimbingan akan kembali 100% jika anak didik mereka tidakl lulus. Jika hal itu dilakukan, tentunya mereka akan merugi. Misalnya ada 25 dari anak didik merek yang tidak lulus, berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk mengganti rugi. Mengingat, biaya selama mengikuti bimbingan tidaklah murah. Oleh karena itu, mereka pun memberikan jawaban kepada anak didik mereka yang sedang berperang.
 Kesimpulannya, semua pihak yang melakuakn kecurangan saat ujian nasionala merupakan orangt-orang yang lebih mengutamakan hasil dari pada proses. Mereka merasa malu dan marah jika anak-anak mereka tidak lulus ujian. Mereka lupa bahwa setiap anak memiliki potensi yang berbeda. Selain itu, anak akan merasa tertekan dan menggannggu perkembangan mereka. Oleh karenanya, biarkanlah anak-anak mengerjakan ujian denagn kemempuan mereka sendiri. Percayalah kepada kemampuan mereka. Janganlah memikirkan hasil yang akan dicapai. Utamakanlah melakukan proses yang baik. Jika proses yang dilakukan baik, maka hasilnya pun akan baik.
Kita juga harus sadar, bahwa dengan membantu anak-anak mengerjakan ujian akan mendidik mereka menjadi orang yang suka meremehkan. Selain itu sia-sia pula proses yang selama ini dilakukan sebelum ujian berlangsung. Proses pembelajaran yang terjadi dalam kurun waktu tiga tahun terasa tidak berguna. Percuma pula usaha pemerintah yang berupaya keras untuk mencegah terjadinya kecurangan saat unas., jika pihak yang bertugas mendidik dan mengawasi justru mendukung kecurangan terjadi. Bagaimana pula kita mengharapkan hadirnya pemimpin yng jujur dan adil, jika para penerus bangsa justru di didik untuk berbuat curang dan berlaku tidak jujur. Oleh karenanya, marilah kita bersama-sama, saling bahu membahu, mencegah dan memberantas terjadinya kecurangan saat unas demi terwujudnya para penerus bangsa yang jujur dan adil. 

No comments:

Post a Comment