Thursday, November 8, 2012

BAGUS TAK MAU MENJADI GAYUS


Akhir-akhir ini, Bagus sangat suka main internet. Maklum, seperti kebanyakan remaja, Bagus pun juga sedang asik-asiknya mencari teman melalui dunia mya. Dia tidak mau dibilang gaptek dan kuper. Namun sayangnya, di rumah ia tidak memiliki lapatop atau pun computer yang terhubung dengan internet. Hand phone yang dia miliki pun masih model lama. Itu pun dipakai bersama.
Bagas memang bukan anak orang yang berada. Dia sulung dari tiga bersaudara. Ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Sedangkan ayahnya hanya seorang tukang tambal ban. Terkadang ibunya turut membantu mencari nafkah  dengan menjual gorengan. Meski bukan orang yang berada, kedua orang tuanya berusaha untuk mencukupi kebutuhan anak-anak mereka sekolah. Begitu pula bagi Bagas. Selama untuk keperluan sekolah, orang tuanya akan selalu megusahakan. Karena mereka ingin anak-anak mereka menjadi orang yang berhasil.
Hal tersebut terkadang dimanfaatkan Bagas. Sering ia meminta uang pada orang tuanya dengan alasan mengerjakan tugas. Padahal uang tersebu ia gunakan untuk main internet maupun game online. Pernah suatu ketika ibunya mengeluhkan hal tersebut.
“Kakak sekarang kok sering minta uang sih ? memangnya dapat tugas apa aja kak?”
“Iya Bu, dan tugasnya itu harus mencari di internet,” jawab Bagas bohong.
“Apa di buku nggak ada Kak?”
“Ada sih bu, tapi gak lengkap.”
Ibunya hanya mengangguk mendengar jawaban Bagas. Kadang Bagas pun tak tega. Tapi kalau sudah berhadapan dengan internet, perasaan kasihan kepada orang tunya menghilang begitu saja. Karena kebiasaan barunya itu, Bagas pun kini jarang membantu ibunya berjualan gorenga. Ia pun juga lupa waktunya belajar. Setiap kali diminta untuk belajar, ia selalu beralasan sudah belajar melalui internet.
Suatu hari, pada mata pelajaran Kewarganegaraan, Bu Rahma meerangkan tentang korupsi.
“Saat ini di Negara kita perilaku korupsi begitu merajalela,” kata Bu Rahma mengawali penjelasannya.
“Korupsi itu mengambil uang Negara untuk keperluan pribadinya kan Bu?” tana Najwa.
“Betul sekali sayang. Dan uang negara itu berasal dari rakyat. Rakyat yang miskin menjadi bertambah miskin. Sedangkan para pemimpin semakin bertambah kaya. Orang yang melakukan korupsi disebut sebagai koruptor. Dan koruptor sama denagn pencuri”
“Tapi kan mereka sudah banyak yang tertangkap Bu?” Tanya Bagas.
“Memang, tapi masih banyak pula yang belum tertangkap. Dan sebenarnya kita ini pun juga koruptor loh.”
“Loh, kok bisa Bu, kita kan tidak mengambil uang rakyat?” Tanya Bagas tak mengerti.
“Memang. Tapi perbuatan kita juga berpotensi menjadi koruptor. Misalnya saja, kita membuang waktu untuk hal yang tidak berguna. Waktunya belajar kita gunakan untuk bermain. Itu namanya kita sudah mengkorupsi waktu. Atau kalian minta uang kepada orang tua kalian dengan alasan mengerjakan tugas padahal uang tersebut kalian gunkaan untuk jajan. Nah itulah sebabnya kita juga berpotensi menjadi koruptor.”
“Wah kalau begitu kita pun jadi gayus dong Bu,” celetuk Abid. Bu Rhhma hanya tersenyum.
“Kalau kalian tidak ingin menjadi Gayusdan ingin Negara kita lebih baik, maka sebagai calon pemimpin Negara ini, mulai hari ini kalian harus menghindari perilaku korupsi dan berperilaku jujur,” jelas Bu Rahma.
Penjelasan Bu Rahma membuat Bagas tersadar bahwa selama ini ia telah menjadi koruptor. Ia sudah membuat keadaan orang tuanya yang susah menjadi bertabah susah. “Nanti di rumah aku harus minta maaf kepada ayah dan ibu. Dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku tak mau menjadi gayus. Aku ngin menjadi presiden yang jujur agar negaraku maju,” janji Bagas dalam hati.
Begitu tiba di rumah, Bagas segera menemui orang tuannya dan meminta maaf atas sikapnya.
“Iya sayang, Ibu dan Ayah memaafkan kamu. Tapi kamu harus berjanji tidak akan mengulanginya lagi,” kata Ayah bijaksana.
“Iya ayah, mulai hari ini Bagas juga akan membantu ayah dan ibu lagi. Bagas juga tidak akan lupa belajar lagi. Bagas gak mau menjadi Gayus dan pemimpin kita yang korup. Bagas ingin menjadi presiden yang jujur agar Negara kita lebih baik.”
“Amin…Ibu dan ayah akan selalu mendo’akan yang terbaik untu kamu, Nak, “ kata Ibu sambil memeluk Bagas.
Semenjak hari itu, Bagas menjadi anak yang jujur. Ia juga blajar displin dalam segala hal. Saat kelas VIII, Bagas dipilih teman-temannya sebagai ketua kelas. Bagas senang sekali. Ini sebagai latihan untuk dia sebelum menjadi presiden yang sebenarnya.

(cerpen ini aku ikutkan dalam lomba hari anak nasional yang diadain writing revolution, belom menang sih tapi lumayan uda masuk 38 besar sari 300.an peserta)

No comments:

Post a Comment