Memasuki era digital, fotografi menjadi hal yang tidak asing lagi bagi semua orang. Hampir setiap orang saat ini begitu gandrung terhadap aktifitas yang satu ini. Apalagi dengan didukung perkembangan teknologi yang senantiasa membuat kita berdecak kagum, fotografi menjadi begitu mudah dan semua orang dapat melakukannya. Tengok saja hand phone. Kehadiran media konvergen ini menjadikan fotografi menjadi lebih mudah. Karena saat ini semua hand phone dilengkapi dengan aplikasi kamera. Bahkan banyak pula yang telah dilengkapi dengan fasilitas edit foto.
Sunday, December 23, 2012
Fotografi sebagai Gaya Hidup
Memasuki era digital, fotografi menjadi hal yang tidak asing lagi bagi semua orang. Hampir setiap orang saat ini begitu gandrung terhadap aktifitas yang satu ini. Apalagi dengan didukung perkembangan teknologi yang senantiasa membuat kita berdecak kagum, fotografi menjadi begitu mudah dan semua orang dapat melakukannya. Tengok saja hand phone. Kehadiran media konvergen ini menjadikan fotografi menjadi lebih mudah. Karena saat ini semua hand phone dilengkapi dengan aplikasi kamera. Bahkan banyak pula yang telah dilengkapi dengan fasilitas edit foto.
Thursday, November 8, 2012
KE-GR-AN
Sudah
hampir dua bulan ini Sasha sering terlihat bareng dengan Yoga. Jika selama ini
dia selalu bersama dengan Indri, sahabatnya, kali ini waktu yang Sasha miliki
lebih sering untuk Yoga. Mulai dari ke kantin bahkan ke acara sekolah pun Sasha
dan Yoga terlihat bersama. Tak jarang mereka berangkat dan pulang dari sekolah
bersama.
Semuanya
bermula saat Sasha dan Siska, tetangganya, pulang dari toko buku dan kehujanan.
Mereka yang sedang menunggu bis tiba-tiba bertemu Yoga. Yoga pun menawari
mengantar mereka pulang. Dan sejak saat itulah kedekatan antara Sasha dan Yoga
pun dimulai. Bahkan Yoga juga sering main ke rumahnya. Tak hanya mengerjakan
tugas sekolah, Yoga pun sering sekedar mampir atau main ke rumahnya.
Padahal
sebelumnya Sasha dan Yoga jarang terlihat ngobrol meski mereka teman satu
kelas. Kedekatan tersebut membuat perasaan Sasha kepada Yoga semakin
berkembang. Sejak awal masuk sekolah Sasha memang sudah menyukai Yoga. Namun,
karea Yoga tipe cowok yang cuek membuat Sasha tak berani melakukan PDKT dan
lebih memilih menyimpan perasaannya dalam-dalam.
Karenanya,
begitu ada kesempatan untuk berdekatan dengan Yoga, Sasha tak
menyia-nyiakannya. Indri pun mengerti dan merelakan waktu yang biasanya ia
habiskan dengan Sasha kini tergantikan oleh Yoga.
“Sha,
pinjem catetan bahasa inggrisnya dong, “kata Yoga.
Sasha
yang asik berbincang dengan Indri pun sejenak menghentikan aktifitasnya.
“Nih….. jangan lama-lama yaw soalnya mau dipinjam Indri juga, “jawab Sasha.
“Beres
deh, “ jawab Yoga sambil berlalu.
“Kayaknya
kalian tambah deket nih, kapan bakal diresmiin? Gue uda gak sabar nih buat
ditraktir, “ goda Indri.
“Gue
yakin dalam waktu deket ini In. Apalagi lo lihat sendiri kan di gantungan kuncinya ada inisial Y&S. Gue yakin itu artinya Yoga&Sasha, “jawab Sasha pd.
Indri hanya mengangguk.
“Nih
Sha catetan loe, gak lama kan,
“ujar Yoga saat mengembalikan buku milik Sasha.
“Iya,
gak sampai bikin bukunya jamuran kok,”canda Indri.
“Oh
yah Sha, malam minggu gue mau ngajak loh makan malem. Jam tujuh gue tunggu di kafe
yang biasanya kita datangi. Loe gak boleh nolak., oke ?” ajak Yoga.
“Iya,
gue pasti dateng,”jawab Sasha.
“Gue
yakin In, Yoga ngajak gue ngedate dan mau nembakgue di sana, “ujar
Sasha senang.
“Iya
gue juga akin gitu. Jangan lupa traktiran loh.”
“Beres”
* * *
Sabtu
malam dengan dandanan bak putrid dalam dongeng,
Sasha menemui Yoga. Saat akan mnghampiri meja tempat Yoga berada, Sasha
terkejut…
“Kok ada Siska sih di sini?”
“Hai
Sha, gue uda pesanin makanan faforit loe, steak dan hot chocolate. Duduk
Sha,”ujar Yoga saat Sasha datang. Sasha menurut.
“Uh…..so sweet banget sih Ga, tapi ngapain
Siska di meja ini juga?”
“Kita
uda nunggu lo dari tadi,”lanjut Yoga.
“Kita? Harusnya kan cuma loe yang nunguin gue.”
“Kita
ngajakin loe makan malem sebagai ucapan terima kasih. Berkat loe, gue ma Yoga
bisa jadian,” kali ini giliran Siska angkat bicara.
“Tunggu dulu, bukankah harusnya Yoga nembak
gue malam ini? Bukannya malah jadian ma Siska.”
“Gue
uda naksir Siska lama Sha. Dan berkat loe gue bisa deketin dia……..”
Stop,
wajah Sasha memerah dan perutnya. Kemudian….bruuk, Sasha pingsan, tak sanggup
lagi mendengar kelanjutan cerita Yoga.
KISSING
“Apa mi, jadi hamper setahun loe jadian ma
Bagas blum prnah sekalipun kalian ciuman?” Tanya Anggi, sahabatku, histeris.
Aku hanya mengangguk.
“Terus yang selama ini kalian lkauin tuh apa
aja?”
“Cuma pegangan tangan doing. Kadang sih Bagas
elus rambutku. Emang kenap sih? Penting yah ciuman itu?” protesku.
“Hari gini pacaran gak ciuman ? kampunagn
banget sih loe,” ejek Anggi.
“Biarin, toh Bagas gak pernah protes. Lagian
ini kan kali
pertamanya gue pacaran.”
“Justru karena Bagas pacar pertama loe, gak ada
salahnya kan
loe ksiin first kiss loe k pacar pertama loe. Gue bilangin yaw Mi, kalau loe
gak mau dicuim ma cowok loe, bisa-bisa dia lari ke cewek lain. Mau loe
ditinggalin Bagas?”
Aku hanya diam.
* * *
Sepulang sekolah, seperti biasa aku menemani
Bagas latihan basket. Jika biasanya aku berteriak mmberi semangat, kali ini aku
hanya diam mematung. Aku masih memikirkan ucapan Anggi tadi. Apa bener ciuman
itu penting ?
“Makasih yah Rakmi saying, uda mau nemenin aku
latihan. Tapi kamu kok gak kayak biasanya sih? Lagi ada masaalah yah?” Tanya
Bagas.
Aku hanya tersenyum masam. Apa bner Bagas bakal
ninggalin aku cuma karena aku gak mau dicium? Waktu itu dia memang pernah
minta, tapi aku tolak. Dan dia pun gak pernahg minta lagi. Apa karena dia uda
punya cewek lain yang bisa dia cium, makanya dia gak minta lagi ?
“Sayang…..cerita dong, kamu ada apa?”
Aku hanya menarik napas panjang.
“Sayang, apa menurut kamu ciuman itu penting?”
tanyaku hati-hati.
“Kok kamu tiba-tiba nanya kayak gitu sayang?”
“Tadi Anggi bilang kalau pacaran gak pakek
ciuman bisa bikin pacar kita pindah ke lain hati. Apa kamu juga punya
selingkuhan cuma karena aku gak mau ciuman? “ tanyaku dengan suara hamper
menangis.
Bukannya menjawab, Bagas justru tertawa.
Membuatku makin kesal aja.
“Apanya yang lucu sih?” protesku.
“Maaf saying, abisnya pertanyaan kamu lucu
banget sih.”
Aku makin cemberut.
“Rahmi sayang, aku jelasin yah. Buat aku
pacaran itu gak berarti harus kontak fisik, tapi yang lebih penting itu saling
menghargai, mendukung, dan menasihati agar masing-maing bisa menjadi lebih baik
dan lebih berprestasi. Aku justru bangga ma kamu, karena kamu punya prinsip dan
beda ma cewek lain. Aku gak masalah kalu kamu gak mau ciuman atau kontak fisik
yang lain. Perhatian, kepercayaan, dan dukungan dari kamu itu uda lebih dari
cukup buat aku,” jelas Bagas panjang lebar.
“Beneran?” tanyaku mencari kepastian.
“Iya sayang. Lagi pula kasih sayang gak harus
diungkapin dengan kontak fisikkan?”
Aku menganggkuk setuju. Mendengar jawaban
Bagas, aku pun tenang. Terima kasih Tuhan, karena kau telah memberiku pacar
yang baik. Aku berharap Bagas memang jodohku. Dan sekarang dengan bangga aku
bilang “No kiss, no problem”
PENDIDIKAN ANTI KORUPSI
Rasa-rasanya
berita mengenai kasus korupsi atau pun para pelakunya senantiasa menghiasi
pemberitaan media, baik di media cetak, elektronik, maupun online. Seakan-akan
korupsi telah menjadi budaya negara ini. Sehingga hampir di setiap daerah, di
setiap instansi, di setiap proyek pemerintahan, korupsi senantiasa menyapa.
Pemberitaan ini sangat berbeda jika kita bandingkan dengan pemberitaan lima
belas atau dua puluh tahun yang lalu, dimana istilah korupsi, kolusi, dan
nepotisme masih jarang terdengar.
BUKAN SEKEDAR IBU RUMAH TANGGA
Ibu
rumah tangga, tak banyak wanita yang kini ingin menjadi seorang ibu rumah
tangga. Bahkan anak-anak sekarang, ketika ditanya mengenai cita-cita mereka,
tak ada yang bercita-cita ingin menjadi ibu rumah tangga. Sering kali, orang
memandang sebelah mata profesi ini.Padahal, profesi ibu rumah tangga sangat
mulia. Dan dari profesi ibu rumah tangga inilah, lahir profesi-profesi yang
lain.
Budayaku, Kepribadianku
Apa itu budaya ?
Budaya
merupakan hasil cipta, karsa, dan rasa manusia. Budaya lahir dari hasil pemikiran
atau pun kebiasaan individu maupun kelompok. Kemudian hasil pemikiran tersebut disepakati
bersama oleh suatu masyarakat tertentu, sehingga budaya tersebut menjadi milik masyarakat. Dalam buku Sosiologi Komunikasi
karangan Prof. Burhan Bungin disebutkan bahwa budaya adalah produk dari seluruh
rangkain proses sosial yang dijalankan oleh manusia dalam masyarakat dengan
segala aktivitasnya. Kata budaya sendiri berasal dari bahasa sanskerta
“buddhayah” yang merupakan jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal.
BAGUS TAK MAU MENJADI GAYUS
Akhir-akhir
ini, Bagus sangat suka main internet. Maklum, seperti kebanyakan remaja, Bagus
pun juga sedang asik-asiknya mencari teman melalui dunia mya. Dia tidak mau
dibilang gaptek dan kuper. Namun sayangnya, di rumah ia tidak memiliki lapatop
atau pun computer yang terhubung dengan internet. Hand phone yang dia miliki
pun masih model lama. Itu pun dipakai bersama.
Bagas
memang bukan anak orang yang berada. Dia sulung dari tiga bersaudara. Ibunya
hanya seorang ibu rumah tangga. Sedangkan ayahnya hanya seorang tukang tambal
ban. Terkadang ibunya turut membantu mencari nafkah dengan menjual gorengan. Meski bukan orang
yang berada, kedua orang tuanya berusaha untuk mencukupi kebutuhan anak-anak
mereka sekolah. Begitu pula bagi Bagas. Selama untuk keperluan sekolah, orang
tuanya akan selalu megusahakan. Karena mereka ingin anak-anak mereka menjadi
orang yang berhasil.
Hal
tersebut terkadang dimanfaatkan Bagas. Sering ia meminta uang pada orang tuanya
dengan alasan mengerjakan tugas. Padahal uang tersebu ia gunakan untuk main
internet maupun game online. Pernah suatu ketika ibunya mengeluhkan hal
tersebut.
“Kakak
sekarang kok sering minta uang sih ? memangnya dapat tugas apa aja kak?”
“Iya
Bu, dan tugasnya itu harus mencari di internet,” jawab Bagas bohong.
“Apa
di buku nggak ada Kak?”
“Ada
sih bu, tapi gak lengkap.”
Ibunya
hanya mengangguk mendengar jawaban Bagas. Kadang Bagas pun tak tega. Tapi kalau
sudah berhadapan dengan internet, perasaan kasihan kepada orang tunya menghilang
begitu saja. Karena kebiasaan barunya itu, Bagas pun kini jarang membantu
ibunya berjualan gorenga. Ia pun juga lupa waktunya belajar. Setiap kali
diminta untuk belajar, ia selalu beralasan sudah belajar melalui internet.
Suatu
hari, pada mata pelajaran Kewarganegaraan, Bu Rahma meerangkan tentang korupsi.
“Saat
ini di Negara kita perilaku korupsi begitu merajalela,” kata Bu Rahma mengawali
penjelasannya.
“Korupsi
itu mengambil uang Negara untuk keperluan pribadinya kan Bu?” tana Najwa.
“Betul
sekali sayang. Dan uang negara itu berasal dari rakyat. Rakyat yang miskin
menjadi bertambah miskin. Sedangkan para pemimpin semakin bertambah kaya. Orang
yang melakukan korupsi disebut sebagai koruptor. Dan koruptor sama denagn
pencuri”
“Tapi
kan mereka sudah banyak yang tertangkap Bu?” Tanya Bagas.
“Memang,
tapi masih banyak pula yang belum tertangkap. Dan sebenarnya kita ini pun juga
koruptor loh.”
“Loh,
kok bisa Bu, kita kan tidak mengambil uang rakyat?” Tanya Bagas tak mengerti.
“Memang.
Tapi perbuatan kita juga berpotensi menjadi koruptor. Misalnya saja, kita
membuang waktu untuk hal yang tidak berguna. Waktunya belajar kita gunakan
untuk bermain. Itu namanya kita sudah mengkorupsi waktu. Atau kalian minta uang
kepada orang tua kalian dengan alasan mengerjakan tugas padahal uang tersebut
kalian gunkaan untuk jajan. Nah itulah sebabnya kita juga berpotensi menjadi
koruptor.”
“Wah
kalau begitu kita pun jadi gayus dong Bu,” celetuk Abid. Bu Rhhma hanya
tersenyum.
“Kalau
kalian tidak ingin menjadi Gayusdan ingin Negara kita lebih baik, maka sebagai
calon pemimpin Negara ini, mulai hari ini kalian harus menghindari perilaku
korupsi dan berperilaku jujur,” jelas Bu Rahma.
Penjelasan
Bu Rahma membuat Bagas tersadar bahwa selama ini ia telah menjadi koruptor. Ia
sudah membuat keadaan orang tuanya yang susah menjadi bertabah susah. “Nanti di
rumah aku harus minta maaf kepada ayah dan ibu. Dan berjanji tidak akan
mengulanginya lagi. Aku tak mau menjadi gayus. Aku ngin menjadi presiden yang
jujur agar negaraku maju,” janji Bagas dalam hati.
Begitu
tiba di rumah, Bagas segera menemui orang tuannya dan meminta maaf atas
sikapnya.
“Iya
sayang, Ibu dan Ayah memaafkan kamu. Tapi kamu harus berjanji tidak akan
mengulanginya lagi,” kata Ayah bijaksana.
“Iya
ayah, mulai hari ini Bagas juga akan membantu ayah dan ibu lagi. Bagas juga
tidak akan lupa belajar lagi. Bagas gak mau menjadi Gayus dan pemimpin kita
yang korup. Bagas ingin menjadi presiden yang jujur agar Negara kita lebih
baik.”
“Amin…Ibu
dan ayah akan selalu mendo’akan yang terbaik untu kamu, Nak, “ kata Ibu sambil
memeluk Bagas.
Semenjak
hari itu, Bagas menjadi anak yang jujur. Ia juga blajar displin dalam segala
hal. Saat kelas VIII, Bagas dipilih teman-temannya sebagai ketua kelas. Bagas
senang sekali. Ini sebagai latihan untuk dia sebelum menjadi presiden yang
sebenarnya.
(cerpen ini aku ikutkan dalam lomba hari anak nasional yang diadain writing revolution, belom menang sih tapi lumayan uda masuk 38 besar sari 300.an peserta)
DENGAN PUNK, AKU MENEMUKAN DIRIKU
Matahari
mulai terasa menghangatkan tubuh. Dengan sedikit mengerjap, membiasakan mataku
dengan sinarnya, aku memaksakan diri untuk bangun. Masih terasa berat mata dan
kepalaku, sisa dari mabuk semalam. Tapi aku harus menyingkir dari sini, mencari
tempat yang sedikit teduh, untuk meneruskan mimpiku. Dan sepertinya ketiga
temanku juga merasakan hal yang sama denganku. Seolah kita memiliki indera
keenam yang bisa membaca pikiran masing-masing. Bersama kita menuju sebuah
warkop, tempat kita biasa menghabiskan waktu bersama.
Sayangnya,
bunyi perutku mengalahkan rasa kantuk. Yah...perutku
sudah meminta jatah. “Uang sisa ngamen semalem masih ada gak?” tanyaku kepada
ketiga temanku.
“Uda
abis, buat beli minuman semalem. Nih, masih ada sisa rokok semalem, lumayan
bisa buat nahan laper. Entar siang baru kita ngamne lagi,” jawab temenku.
Yah,
beginilah kami. Hidup di jalanan, tidur, makan, dan menghabiskan waktu kami di
jalan. Bangun tidut kami langsung ngamne. Mengamen adalah cara untuk mencari uang.
Tak jarang kami “malak” anak-anak sekolah yang sedang nongkrong di “kerajaan”
kami. Uang tersebut kmai gunakan untuk memenuhi kebutuhan kami, makan, rokok,
sering pula untuk membeli miras atau pun “jajan”.
Orang
awam menyebut kami anak jalanan. Banyak pula yang memanggil kami berandalan. Dalam
komunitas punk sendiri, kita disebut street punk. Tapi apapun sebutannya untuk
kami, kami tak peduli. Bodoh amat dengan segala julukan yang mereka berikan,
tak peduli denga segala cibiran dan ejekan mereka. Kami pun tak peduli dengan
norma, peraturan, politik, pemerintah, dan semacamnya. Persetan dengan itu
semua.
Bagi
kami, punk adalah hidup kami, dunia kami, dan identitas kami. Kami benar-benar
tidak peduli dengan dunia dan orang-orangnya. Selagi mereka tidak mencari
masalah dengan kami, kami tak peduli dengan orang-orang itu. Kami hanya peduli
dengan perut kami dan teman-teman kami. Bagi kami, teman adalah harta berharga
kami, merekalah keluarga kami.
Aku
pun merasakan hal yang sama. Sejak kedua orang tuaku becerai, aku tak lagi
merasakan hangatnya keluarga. Aku kesepian dan bosan. Apalgi dengan segala
aturan yang diterapkan oleh ayahku, aturan sekolah, aturan masyarakat, dan
segala tetek bengek semacamnya. Aku merasa dipenjara, hidup tak bebas, dan
terkekang. Aku tak lagi bisa mengekspresikan diriku tapi aku juga tak
mendapatkan hak-hakku. Mereka semua hanya bisa menuntutku untuk melakukan
kewajiban dan mematuhi semua aturan. Tapi tak ada penghargaan dari apa yang aku
lakukan.
Semua
kekecewaan dan kebosanan itulah yang mengantarkan aku ke sini, ke komunitas
punk. Karena disinilah, aku menemukan apa yang selama ini aku cari dan aku
mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku memiliki teman-temna yang peduli kepadaku,
menganggap aku keluarga mereka sendiri. Ibaratnya satu untuk smeua, semua untuk
satu. Bersama mereka pula, aku bebas mengekspresikan diriku, terlepas dari
segala kewajibanku, dan keluar dari segala peraturan yang selama ini
mengikatku.
Tapi
jangan berharap awal aku di sini, aku bisa diterima dengan mudah. Ada “ritual”
yang harus aku lakukan untuk bisa diterima komunitas ini. Yang pertama,
tentunya aku harus sama dengan mereka. Penampilanku, cara bergaulku harus sama
dengan mereka. Setelah itu aku harus menghadapi ujian hidup di jalan. Tidur di
jalanan, makan makanan basi atau pun sampah, dan merelakan hartaku dipakai
bersama. Terakhir aku harus mengikuti ujian kesetiakawanan. Setelah aku lulus
semua peraturan mereka, maka aku biasa diterima menjadi komunitas mereka. Seandainya
aku gagal, entah apa yang akan terjadi padaku.
Oh
ya, kami juga anti dengan punk-punk lain. Meski menurut orang lain kita sama,
tapi bagi kami antar punk pun juga berbeda. Kami hanya peduli dengan kelompok
kami, anggota kami. Kami tak peduli dengan anggota kelompok punk lain. Jika mereka
bermacam-macam dengan daerah kekuasaan kami, mereka pun akan kami perangi. Hanya
pada acara tertentu saja, kami para punk, dapat bedamai. Misalnya saja ketika
menonton konser.
Meski
begitu, aku senang bergabung dengan mereka dan menghabiskan waktu bersama
mereka. Bagiku, bersama mereka jauh lebih nyaman dibandingkan dengan
orang-orang yang mengaku keluargaku. Bersama mereka aku merasa waras
dibandingkan dengan orang-orang yang mengaku mereka “waras dan normal”. Dan bersama
anak-anak punk inilah, aku menemukan siapa aku sebenarnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)