Thursday, November 8, 2012

KE-GR-AN


Sudah hampir dua bulan ini Sasha sering terlihat bareng dengan Yoga. Jika selama ini dia selalu bersama dengan Indri, sahabatnya, kali ini waktu yang Sasha miliki lebih sering untuk Yoga. Mulai dari ke kantin bahkan ke acara sekolah pun Sasha dan Yoga terlihat bersama. Tak jarang mereka berangkat dan pulang dari sekolah bersama.
Semuanya bermula saat Sasha dan Siska, tetangganya, pulang dari toko buku dan kehujanan. Mereka yang sedang menunggu bis tiba-tiba bertemu Yoga. Yoga pun menawari mengantar mereka pulang. Dan sejak saat itulah kedekatan antara Sasha dan Yoga pun dimulai. Bahkan Yoga juga sering main ke rumahnya. Tak hanya mengerjakan tugas sekolah, Yoga pun sering sekedar mampir atau main ke rumahnya.
Padahal sebelumnya Sasha dan Yoga jarang terlihat ngobrol meski mereka teman satu kelas. Kedekatan tersebut membuat perasaan Sasha kepada Yoga semakin berkembang. Sejak awal masuk sekolah Sasha memang sudah menyukai Yoga. Namun, karea Yoga tipe cowok yang cuek membuat Sasha tak berani melakukan PDKT dan lebih memilih menyimpan perasaannya dalam-dalam.
Karenanya, begitu ada kesempatan untuk berdekatan dengan Yoga, Sasha tak menyia-nyiakannya. Indri pun mengerti dan merelakan waktu yang biasanya ia habiskan dengan Sasha kini tergantikan oleh Yoga.
“Sha, pinjem catetan bahasa inggrisnya dong, “kata Yoga.
Sasha yang asik berbincang dengan Indri pun sejenak menghentikan aktifitasnya. “Nih….. jangan lama-lama yaw soalnya mau dipinjam Indri juga, “jawab Sasha.
“Beres deh, “ jawab Yoga sambil berlalu.
“Kayaknya kalian tambah deket nih, kapan bakal diresmiin? Gue uda gak sabar nih buat ditraktir, “ goda Indri.
“Gue yakin dalam waktu deket ini In. Apalagi lo lihat sendiri kan di gantungan kuncinya ada inisial Y&S. Gue yakin itu artinya Yoga&Sasha, “jawab Sasha pd. Indri hanya mengangguk.
“Nih Sha catetan loe, gak lama kan, “ujar Yoga saat mengembalikan buku milik Sasha.
“Iya, gak sampai bikin bukunya jamuran kok,”canda Indri.
“Oh yah Sha, malam minggu gue mau ngajak loh makan malem. Jam tujuh gue tunggu di kafe yang biasanya kita datangi. Loe gak boleh nolak., oke ?” ajak Yoga.
“Iya, gue pasti dateng,”jawab Sasha.
“Gue yakin In, Yoga ngajak gue ngedate dan mau nembakgue di sana, “ujar  Sasha senang.
“Iya gue juga akin gitu. Jangan lupa traktiran loh.”
“Beres”
*                                                          *                                                          *
Sabtu malam dengan dandanan bak putrid dalam dongeng,  Sasha menemui Yoga. Saat akan mnghampiri meja tempat Yoga berada, Sasha terkejut…
Kok ada Siska sih di sini?”
“Hai Sha, gue uda pesanin makanan faforit loe, steak dan hot chocolate. Duduk Sha,”ujar Yoga saat Sasha datang. Sasha menurut.
Uh…..so sweet banget sih Ga, tapi ngapain Siska di meja ini juga?”
“Kita uda nunggu lo dari tadi,”lanjut Yoga.
Kita? Harusnya kan cuma loe yang nunguin gue.”
“Kita ngajakin loe makan malem sebagai ucapan terima kasih. Berkat loe, gue ma Yoga bisa jadian,” kali ini giliran Siska angkat bicara.
“Tunggu dulu, bukankah harusnya Yoga nembak gue malam ini? Bukannya malah jadian ma Siska.”
“Gue uda naksir Siska lama Sha. Dan berkat loe gue bisa deketin dia……..”
Stop, wajah Sasha memerah dan perutnya. Kemudian….bruuk, Sasha pingsan, tak sanggup lagi mendengar kelanjutan cerita Yoga.

KISSING



“Apa mi, jadi hamper setahun loe jadian ma Bagas blum prnah sekalipun kalian ciuman?” Tanya Anggi, sahabatku, histeris. Aku hanya mengangguk.
“Terus yang selama ini kalian lkauin tuh apa aja?”
“Cuma pegangan tangan doing. Kadang sih Bagas elus rambutku. Emang kenap sih? Penting yah ciuman itu?” protesku.
“Hari gini pacaran gak ciuman ? kampunagn banget sih loe,” ejek Anggi.
“Biarin, toh Bagas gak pernah protes. Lagian ini kan kali pertamanya gue pacaran.”
“Justru karena Bagas pacar pertama loe, gak ada salahnya kan loe ksiin first kiss loe k pacar pertama loe. Gue bilangin yaw Mi, kalau loe gak mau dicuim ma cowok loe, bisa-bisa dia lari ke cewek lain. Mau loe ditinggalin Bagas?”
Aku hanya diam.
*                                                          *                                              *
Sepulang sekolah, seperti biasa aku menemani Bagas latihan basket. Jika biasanya aku berteriak mmberi semangat, kali ini aku hanya diam mematung. Aku masih memikirkan ucapan Anggi tadi. Apa bener ciuman itu penting ?
“Makasih yah Rakmi saying, uda mau nemenin aku latihan. Tapi kamu kok gak kayak biasanya sih? Lagi ada masaalah yah?” Tanya Bagas.
Aku hanya tersenyum masam. Apa bner Bagas bakal ninggalin aku cuma karena aku gak mau dicium? Waktu itu dia memang pernah minta, tapi aku tolak. Dan dia pun gak pernahg minta lagi. Apa karena dia uda punya cewek lain yang bisa dia cium, makanya dia gak minta lagi ?
“Sayang…..cerita dong, kamu ada apa?”
Aku hanya menarik napas panjang.
“Sayang, apa menurut kamu ciuman itu penting?” tanyaku hati-hati.
“Kok kamu tiba-tiba nanya kayak gitu sayang?”
“Tadi Anggi bilang kalau pacaran gak pakek ciuman bisa bikin pacar kita pindah ke lain hati. Apa kamu juga punya selingkuhan cuma karena aku gak mau ciuman? “ tanyaku dengan suara hamper menangis.
Bukannya menjawab, Bagas justru tertawa. Membuatku makin kesal aja.
“Apanya yang lucu sih?” protesku.
“Maaf saying, abisnya pertanyaan kamu lucu banget sih.”
Aku makin cemberut.
“Rahmi sayang, aku jelasin yah. Buat aku pacaran itu gak berarti harus kontak fisik, tapi yang lebih penting itu saling menghargai, mendukung, dan menasihati agar masing-maing bisa menjadi lebih baik dan lebih berprestasi. Aku justru bangga ma kamu, karena kamu punya prinsip dan beda ma cewek lain. Aku gak masalah kalu kamu gak mau ciuman atau kontak fisik yang lain. Perhatian, kepercayaan, dan dukungan dari kamu itu uda lebih dari cukup buat aku,” jelas Bagas panjang lebar.
“Beneran?” tanyaku mencari kepastian.
“Iya sayang. Lagi pula kasih sayang gak harus diungkapin dengan kontak fisikkan?”
Aku menganggkuk setuju. Mendengar jawaban Bagas, aku pun tenang. Terima kasih Tuhan, karena kau telah memberiku pacar yang baik. Aku berharap Bagas memang jodohku. Dan sekarang dengan bangga aku bilang “No kiss, no problem”

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI



Rasa-rasanya berita mengenai kasus korupsi atau pun para pelakunya senantiasa menghiasi pemberitaan media, baik di media cetak, elektronik, maupun online. Seakan-akan korupsi telah menjadi budaya negara ini. Sehingga hampir di setiap daerah, di setiap instansi, di setiap proyek pemerintahan, korupsi senantiasa menyapa. Pemberitaan ini sangat berbeda jika kita bandingkan dengan pemberitaan lima belas atau dua puluh tahun yang lalu, dimana istilah korupsi, kolusi, dan nepotisme masih jarang terdengar.

BUKAN SEKEDAR IBU RUMAH TANGGA


Ibu rumah tangga, tak banyak wanita yang kini ingin menjadi seorang ibu rumah tangga. Bahkan anak-anak sekarang, ketika ditanya mengenai cita-cita mereka, tak ada yang bercita-cita ingin menjadi ibu rumah tangga. Sering kali, orang memandang sebelah mata profesi ini.Padahal, profesi ibu rumah tangga sangat mulia. Dan dari profesi ibu rumah tangga inilah, lahir profesi-profesi yang lain.

Budayaku, Kepribadianku


Apa itu budaya ?
Budaya merupakan hasil cipta, karsa, dan rasa manusia. Budaya lahir dari hasil pemikiran atau pun kebiasaan individu maupun kelompok. Kemudian hasil pemikiran tersebut disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu, sehingga budaya tersebut menjadi milik masyarakat. Dalam buku Sosiologi Komunikasi karangan Prof. Burhan Bungin disebutkan bahwa budaya adalah produk dari seluruh rangkain proses sosial yang dijalankan oleh manusia dalam masyarakat dengan segala aktivitasnya. Kata budaya sendiri berasal dari bahasa sanskerta “buddhayah” yang merupakan jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal.

BAGUS TAK MAU MENJADI GAYUS


Akhir-akhir ini, Bagus sangat suka main internet. Maklum, seperti kebanyakan remaja, Bagus pun juga sedang asik-asiknya mencari teman melalui dunia mya. Dia tidak mau dibilang gaptek dan kuper. Namun sayangnya, di rumah ia tidak memiliki lapatop atau pun computer yang terhubung dengan internet. Hand phone yang dia miliki pun masih model lama. Itu pun dipakai bersama.
Bagas memang bukan anak orang yang berada. Dia sulung dari tiga bersaudara. Ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Sedangkan ayahnya hanya seorang tukang tambal ban. Terkadang ibunya turut membantu mencari nafkah  dengan menjual gorengan. Meski bukan orang yang berada, kedua orang tuanya berusaha untuk mencukupi kebutuhan anak-anak mereka sekolah. Begitu pula bagi Bagas. Selama untuk keperluan sekolah, orang tuanya akan selalu megusahakan. Karena mereka ingin anak-anak mereka menjadi orang yang berhasil.
Hal tersebut terkadang dimanfaatkan Bagas. Sering ia meminta uang pada orang tuanya dengan alasan mengerjakan tugas. Padahal uang tersebu ia gunakan untuk main internet maupun game online. Pernah suatu ketika ibunya mengeluhkan hal tersebut.
“Kakak sekarang kok sering minta uang sih ? memangnya dapat tugas apa aja kak?”
“Iya Bu, dan tugasnya itu harus mencari di internet,” jawab Bagas bohong.
“Apa di buku nggak ada Kak?”
“Ada sih bu, tapi gak lengkap.”
Ibunya hanya mengangguk mendengar jawaban Bagas. Kadang Bagas pun tak tega. Tapi kalau sudah berhadapan dengan internet, perasaan kasihan kepada orang tunya menghilang begitu saja. Karena kebiasaan barunya itu, Bagas pun kini jarang membantu ibunya berjualan gorenga. Ia pun juga lupa waktunya belajar. Setiap kali diminta untuk belajar, ia selalu beralasan sudah belajar melalui internet.
Suatu hari, pada mata pelajaran Kewarganegaraan, Bu Rahma meerangkan tentang korupsi.
“Saat ini di Negara kita perilaku korupsi begitu merajalela,” kata Bu Rahma mengawali penjelasannya.
“Korupsi itu mengambil uang Negara untuk keperluan pribadinya kan Bu?” tana Najwa.
“Betul sekali sayang. Dan uang negara itu berasal dari rakyat. Rakyat yang miskin menjadi bertambah miskin. Sedangkan para pemimpin semakin bertambah kaya. Orang yang melakukan korupsi disebut sebagai koruptor. Dan koruptor sama denagn pencuri”
“Tapi kan mereka sudah banyak yang tertangkap Bu?” Tanya Bagas.
“Memang, tapi masih banyak pula yang belum tertangkap. Dan sebenarnya kita ini pun juga koruptor loh.”
“Loh, kok bisa Bu, kita kan tidak mengambil uang rakyat?” Tanya Bagas tak mengerti.
“Memang. Tapi perbuatan kita juga berpotensi menjadi koruptor. Misalnya saja, kita membuang waktu untuk hal yang tidak berguna. Waktunya belajar kita gunakan untuk bermain. Itu namanya kita sudah mengkorupsi waktu. Atau kalian minta uang kepada orang tua kalian dengan alasan mengerjakan tugas padahal uang tersebut kalian gunkaan untuk jajan. Nah itulah sebabnya kita juga berpotensi menjadi koruptor.”
“Wah kalau begitu kita pun jadi gayus dong Bu,” celetuk Abid. Bu Rhhma hanya tersenyum.
“Kalau kalian tidak ingin menjadi Gayusdan ingin Negara kita lebih baik, maka sebagai calon pemimpin Negara ini, mulai hari ini kalian harus menghindari perilaku korupsi dan berperilaku jujur,” jelas Bu Rahma.
Penjelasan Bu Rahma membuat Bagas tersadar bahwa selama ini ia telah menjadi koruptor. Ia sudah membuat keadaan orang tuanya yang susah menjadi bertabah susah. “Nanti di rumah aku harus minta maaf kepada ayah dan ibu. Dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku tak mau menjadi gayus. Aku ngin menjadi presiden yang jujur agar negaraku maju,” janji Bagas dalam hati.
Begitu tiba di rumah, Bagas segera menemui orang tuannya dan meminta maaf atas sikapnya.
“Iya sayang, Ibu dan Ayah memaafkan kamu. Tapi kamu harus berjanji tidak akan mengulanginya lagi,” kata Ayah bijaksana.
“Iya ayah, mulai hari ini Bagas juga akan membantu ayah dan ibu lagi. Bagas juga tidak akan lupa belajar lagi. Bagas gak mau menjadi Gayus dan pemimpin kita yang korup. Bagas ingin menjadi presiden yang jujur agar Negara kita lebih baik.”
“Amin…Ibu dan ayah akan selalu mendo’akan yang terbaik untu kamu, Nak, “ kata Ibu sambil memeluk Bagas.
Semenjak hari itu, Bagas menjadi anak yang jujur. Ia juga blajar displin dalam segala hal. Saat kelas VIII, Bagas dipilih teman-temannya sebagai ketua kelas. Bagas senang sekali. Ini sebagai latihan untuk dia sebelum menjadi presiden yang sebenarnya.

(cerpen ini aku ikutkan dalam lomba hari anak nasional yang diadain writing revolution, belom menang sih tapi lumayan uda masuk 38 besar sari 300.an peserta)

DENGAN PUNK, AKU MENEMUKAN DIRIKU

 Matahari mulai terasa menghangatkan tubuh. Dengan sedikit mengerjap, membiasakan mataku dengan sinarnya, aku memaksakan diri untuk bangun. Masih terasa berat mata dan kepalaku, sisa dari mabuk semalam. Tapi aku harus menyingkir dari sini, mencari tempat yang sedikit teduh, untuk meneruskan mimpiku. Dan sepertinya ketiga temanku juga merasakan hal yang sama denganku. Seolah kita memiliki indera keenam yang bisa membaca pikiran masing-masing. Bersama kita menuju sebuah warkop, tempat kita biasa menghabiskan waktu bersama.
Sayangnya, bunyi perutku mengalahkan rasa kantuk.  Yah...perutku sudah meminta jatah. “Uang sisa ngamen semalem masih ada gak?” tanyaku kepada ketiga temanku.
“Uda abis, buat beli minuman semalem. Nih, masih ada sisa rokok semalem, lumayan bisa buat nahan laper. Entar siang baru kita ngamne lagi,” jawab temenku.
Yah, beginilah kami. Hidup di jalanan, tidur, makan, dan menghabiskan waktu kami di jalan. Bangun tidut kami langsung ngamne. Mengamen adalah cara untuk mencari uang. Tak jarang kami “malak” anak-anak sekolah yang sedang nongkrong di “kerajaan” kami. Uang tersebut kmai gunakan untuk memenuhi kebutuhan kami, makan, rokok, sering pula untuk membeli miras atau pun “jajan”.
Orang awam menyebut kami anak jalanan. Banyak pula yang memanggil kami berandalan. Dalam komunitas punk sendiri, kita disebut street punk. Tapi apapun sebutannya untuk kami, kami tak peduli. Bodoh amat dengan segala julukan yang mereka berikan, tak peduli denga segala cibiran dan ejekan mereka. Kami pun tak peduli dengan norma, peraturan, politik, pemerintah, dan semacamnya. Persetan dengan itu semua.
Bagi kami, punk adalah hidup kami, dunia kami, dan identitas kami. Kami benar-benar tidak peduli dengan dunia dan orang-orangnya. Selagi mereka tidak mencari masalah dengan kami, kami tak peduli dengan orang-orang itu. Kami hanya peduli dengan perut kami dan teman-teman kami. Bagi kami, teman adalah harta berharga kami, merekalah keluarga kami.
Aku pun merasakan hal yang sama. Sejak kedua orang tuaku becerai, aku tak lagi merasakan hangatnya keluarga. Aku kesepian dan bosan. Apalgi dengan segala aturan yang diterapkan oleh ayahku, aturan sekolah, aturan masyarakat, dan segala tetek bengek semacamnya. Aku merasa dipenjara, hidup tak bebas, dan terkekang. Aku tak lagi bisa mengekspresikan diriku tapi aku juga tak mendapatkan hak-hakku. Mereka semua hanya bisa menuntutku untuk melakukan kewajiban dan mematuhi semua aturan. Tapi tak ada penghargaan dari apa yang aku lakukan.
Semua kekecewaan dan kebosanan itulah yang mengantarkan aku ke sini, ke komunitas punk. Karena disinilah, aku menemukan apa yang selama ini aku cari dan aku mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku memiliki teman-temna yang peduli kepadaku, menganggap aku keluarga mereka sendiri. Ibaratnya satu untuk smeua, semua untuk satu. Bersama mereka pula, aku bebas mengekspresikan diriku, terlepas dari segala kewajibanku, dan keluar dari segala peraturan yang selama ini mengikatku.
Tapi jangan berharap awal aku di sini, aku bisa diterima dengan mudah. Ada “ritual” yang harus aku lakukan untuk bisa diterima komunitas ini. Yang pertama, tentunya aku harus sama dengan mereka. Penampilanku, cara bergaulku harus sama dengan mereka. Setelah itu aku harus menghadapi ujian hidup di jalan. Tidur di jalanan, makan makanan basi atau pun sampah, dan merelakan hartaku dipakai bersama. Terakhir aku harus mengikuti ujian kesetiakawanan. Setelah aku lulus semua peraturan mereka, maka aku biasa diterima menjadi komunitas mereka. Seandainya aku gagal, entah apa yang akan terjadi padaku.
Oh ya, kami juga anti dengan punk-punk lain. Meski menurut orang lain kita sama, tapi bagi kami antar punk pun juga berbeda. Kami hanya peduli dengan kelompok kami, anggota kami. Kami tak peduli dengan anggota kelompok punk lain. Jika mereka bermacam-macam dengan daerah kekuasaan kami, mereka pun akan kami perangi. Hanya pada acara tertentu saja, kami para punk, dapat bedamai. Misalnya saja ketika menonton konser.
Meski begitu, aku senang bergabung dengan mereka dan menghabiskan waktu bersama mereka. Bagiku, bersama mereka jauh lebih nyaman dibandingkan dengan orang-orang yang mengaku keluargaku. Bersama mereka aku merasa waras dibandingkan dengan orang-orang yang mengaku mereka “waras dan normal”. Dan bersama anak-anak punk inilah, aku menemukan siapa aku sebenarnya.